Singapura — Bukan Sekadar Perjalanan
Semua berawal dari ajakan seorang teman gereja pada tanggal 22 April 2023.
Saat menerima chat itu, aku baru pulang dari perjalanan singkat ke Salatiga bersama orangtuaku.
Sesaat aku berpikir.
Singapura.
Aku pernah pergi kesana ketika SMP. Singapura, adalah luar negeri pertama yang aku kunjungi dalam hidupku. First impressions-nya, aku kagum dengan kota itu. Rapih, bersih, kemana-mana gampang, antar 1 tempat dengan tempat lain saling terhubung. Pokoknya ok deh.
Dan sekarang, aku mendapat ajakan untuk pergi kesana untuk yang kedua kalinya, tidak ada keinginan untuk menolak sama sekali. Aku berpikir, rasanya kesempatan ini bisa digunakan sebagai teaser sebelum kuliah S2 di luar negeri. Selain itu, momen ini juga bisa dipakai sebagai pembelajaran dan mengukur sekacau apa bahasa inggris saya haha.
Setelah menanyakan estimasi budget dan konsultasi dengan orangtua, aku mengiyakan ajakan itu.
Saya berangkat bersama tiga orang lainnya, namanya Naldo, Jonathan, dan Joanella. Joanella ini adiknya Jonathan, yang saat itu kelas 1 SD. Jonathan ini teman kuliahnya Naldo. Naldo adalah teman gerejaku.
Aku pernah bertemu Jonathan pada tahun 2022, diajak Naldo, nonton salah satu film yang sedang hits saat itu.
Yang dibayangkan ketika ada anak kecil dalam perjalanan ini, gimana kalau dia tantrum? Makannya gimana? Dan pertanyaan-pertanyaan pada umumnya seputar bagaimana mengurus anak.
Orangtuaku juga punya concern yang sama.
Tapi, aku percaya pada satu hal. Kalau kokonya sudah berani untuk memutuskan pergi ke Singapura bersama adiknya, itu adalah keputusan yang bertanggung jawab.
Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan anak kecil. Yang aku takuti adalah, perjalanan nanti akan terkesan awkward.
Dan ternyata, tidak seperti yang aku pikirkan.
—
Sepanjang aku hidup hingga tulisan ini dibuat, aku jarang mendapat exposure untuk berkomunikasi dengan anak kecil. Di lingkungan keluarga sebenarnya ada kesempatan itu. Ada saudara sepupuku yang sudah punya anak misalnya. Namun, ketika aku berkunjung ke tempatnya untuk menjenguk, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan anak kecil. Mereka menangis, bertingkah lemah dan lucu di saat yang bersamaan diatas kasur tidur, sesekali tertawa sebagai tanda awal caranya untuk berinteraksi.
Perjalananku ke Singapura memberikan pandangan baru terhadap anak kecil. Justru, anak kecil itu yang mengajarkanku untuk berani berkomunikasi dengannya. Interaksi pertama diawali dengan pemberian biskuit kentang ketika kami menunggu pesawat di bandara. Aku menerima dengan senyum dan mengatakan terimakasih.
Perjalanan di Singapura yang didominasi dengan berjalan kaki, tentu membuat kami harus saling menjaga dan berhati-hati. Misalnya, hati-hati saat menyebrang jalan, menunggu apabila kartu EZLink kami yang digunakan untuk transportasi MRT dan bis perlu diisi ulang, dan menjaga apabila ada wahana yang ingin dinaiki di Universal Studio tapi si kecil belum bisa naik.
Dalam beberapa kesempatan, aku menggandeng tangannya, menghadapi lautan manusia saat berganti stasiun. Aku kira dia akan menolakku dengan menghempaskan gandenganku ke udara. Ternyata tidak se dramatis itu, ia percaya dan mau digandeng. Aku rasa karena kami sudah berkenalan, dan dia sudah aware bahwa kita bersama akan jalan di Singapura. Rasa aman itu perlu dibangun sehingga si kecil bisa percaya kepada pengasuhnya.
Di salah satu wahana Universal Studio, ia bergantian memilih siapa yang duduk disebelahnya. Aku mendapat kesempatan di wahana roller coaster gantung, duduk berdua disampingnya. Karena ada beberapa bagian roller coaster itu tampak ngebut, aku berkata padanya, “Pegang tanganku ya.” Dia pegang tanganku sepanjang perjalanan. Di akhir tampak rasa kaget di wajahnya, sekaligus juga kebahagiaan.
Dari sini aku belajar bahwa interaksi dengan anak kecil itu tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mereka masih dalam tahap memandang dunia dengan cara yang sederhana, begitulah caraku menghadapinya, dengan cara yang sederhana — bergandengan tangan, bermain putar-putar sampai pusing, dan mengajaknya ngobrol tentang pesawat seperti kenapa pesawat bisa terbang. Aku rasa tiap anak punya pendekatan yang berbeda-beda. Jadi, kita perlu pandai-pandai men-trigger komunikasi kepadanya.
Tidak hanya komunikasi, tapi juga bagaimana ketangkasan sang kakak untuk membuat si kecil tetap dalam mood yang baik juga patut diacungi jempol.
Dari awal pertemuan sampai akhir, aku melihat betapa sigapnya si koko ini. Skill yang ia miliki tidak kalah dengan skill orang tua yang punya anak pada umumnya. Misalnya, memandikan si kecil, nyuapin makan, bagaimana caranya mempercepat durasi makan, menggendong si kecil ketika mulai ada indikasi tantrum.
Aku banyak belajar daripadanya. Aku melihat bahwa skill itu dapat dipelajari, tentu dengan latihan dan adanya kesempatan untuk mengasuh si kecil.
Aku ceritakan salah satu contohnya ya.
Makan.
Kita tau bahwa anak kecil kalau makan itu sulit. Kadang makan di emut berjam-jam. Makannya ga selesai-selesai, berantakan, dan masih banyak lagi. Sang kakak pesan makanan satu porsi berdua dengannya. Di awal, ada agreement, bahwa si kecil makan 10 suap yang sudah dibagi oleh sang kakak.
Ketika makan, sang kakak tidak hanya makan untuk dirinya sendiri, tapi juga menyuapkan sendok untuk adiknya. Satu per satu makanan dilahapnya. Ketika waktu sudah terlalu lama, sang kakak mengeluarkan apa yang disebutnya keripik kentang andalan, yang merupakan makanan favorit si kecil untuk mengakselerasi kecepatan makannya. Alhasil, memang lebih cepat.
Sebagai penutup dari cerita ini, bagiku, perjalanan ke Singapura bukan sekadar perjalanan biasa — jalan-jalan lima hari, menikmati hal-hal baru yang ada disana. Perjalanan ini adalah pengalaman yang mengenalkanku dengan kesederhanaan anak kecil dan cara untuk mengasuhnya sebagai orang dewasa. Aku percaya ini bisa menjadi bekal ketika suatu hari aku menjadi seorang ayah.
Untuk Naldo, Jonathan, dan Lala, terimakasih telah mengajakku dalam perjalanan ini ya.